Sudah sangat maklum apabila ada anggapan bahwa nilai adalah hal pertama
yang harus dikejar di sekolah. Seolah tidak lekang oleh waktu, anggapan itu
masih ada hingga bocah-bocah yang dulunya memakai seragam hitam putih, kini
menjejakkan kaki di pelataran kampus. Pada sudut-sudut tertentu, pada suatu
saat, pertanyaan soal Indeks Prestasi (IP) pasti muncul ke permukaan, terlebih
ketika akhir semester. Maka, untuk mendapatkan hasil maksimal, pekerjaan
mencontek pun kembali tumbuh menjadi kebiasaan kala otak seperti berhenti
berpikir.
Tidak semua penugasan yang diberikan dosen dapat dikerjakan dengan
mencontek. Akan tetapi, penugasan yang memberi peluang untuk mencontek itu
tetap ada, terlebih ketika ujian akhir berupa ujian tulis. Bisa jadi ketika
pulpen sedang berpikir untuk menuliskan sesuatu, mata sang empunya pulpen
menyisir seisi ruangan mencari peluang untuk mencontek. Pun pada pekerjaan
rumah, mungkin saja seorang mahasiswa bentuk mencontek berupa plagiasi secara
tidak sadar. Arus informasi yang begitu pesat sangat memungkinkan hal tersebut
terjadi.
Sumber: Kompasiana |
“Tentu saja ada rasa puas dan tidaknya,” begitu kira-kira tanggapan yang
muncul ketika muncul nilai baik yang didapat melalui pekerjaan mencontek. Di
satu sisi, ia beruntung karena nilai yang diharapkan tercapai. Apa kabar orang
tua di rumah? Tentu nilai ini dapat menjadikan rasa rindu mereka tergantikan,
bahwa inilah anak yang telah berhasil menuntut ilmu di perguruan tinggi. Jika
berbicara soal rasa tidak puas, tentu terbentuk karena kepalsuan yang ada dalam
diri si pelaku mencontek. Sejatinya ia tidak mendapatkan apapun atas
pekerjaannya, kecuali hanya seonggok nilai. Ia tidak memahami pengetahuan,
apalagi menguasainya. Setidaknya hal ini tidak sampai pada tingkat terbawah
yaitu, tidak sama sekali.
Bagi sebagian orang yang merenungi pekerjaan menconteknya, pasti ada
suatu rasa bersalah di dalam dadanya. Akan timbul dorongan untuk meninggalkan
itu semua. Ada satu titik balik yang ingin dibuat. Ada kesadaran bahwa mereka
adalah orang yang gagal, tetapi tidak seluruhnya. Masih ada setitik harapan
untuk mengubah semua itu. Dan pada titik itu, kehidupan baru mereka dimulai.
Bukan perkara yang mudah meninggalkan perilaku yang sudah mendarah daging
bukan hanya pada diri sendiri saja, melainkan hampir di tiap-tiap orang yang
ada di sekitarnya. Ada saja gangguan yang mengusik hati dan pikiran yang
berusaha teguh pada pendirian untuk tidak mencontek. Di sekeliling banyak
sekali bentuk kecurangan. Bukankah mencontek adalah salah satu bentuk
kecurangan itu. Ah, mungkin nasib orang yang bodoh memang seperti ini.
Mencontek salah, tidak mencontek bubrah.
Di ujung jalan itu, suatu saat, mungkin akan kau temui orang-orang dengan
seragam dinas. Pekerjaan mereka lebih banyak di dalam ruangan yang berisi
bangku, kursi, dan papan tulis. Pada sela-sela mengajar, mereka selalu
memperingatkan anak didiknya untuk tidak mencontek. Pada titik itulah, mungkin
mereka baru dapat benar-benar menerima kesalahan mereka di masa lalu. Mungkin
jika kesalahan itu tidak pernah dilakukan, mereka tidak akan benar-benar paham.
Semua itu, berawal dari kesalahan yang sama, mencontek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar