Berawal dari Mencontek - Tranquillum

Dunia yang diam dan hal-hal di sekitarnya

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Jumat, 03 Maret 2017

Berawal dari Mencontek

Sudah sangat maklum apabila ada anggapan bahwa nilai adalah hal pertama yang harus dikejar di sekolah. Seolah tidak lekang oleh waktu, anggapan itu masih ada hingga bocah-bocah yang dulunya memakai seragam hitam putih, kini menjejakkan kaki di pelataran kampus. Pada sudut-sudut tertentu, pada suatu saat, pertanyaan soal Indeks Prestasi (IP) pasti muncul ke permukaan, terlebih ketika akhir semester. Maka, untuk mendapatkan hasil maksimal, pekerjaan mencontek pun kembali tumbuh menjadi kebiasaan kala otak seperti berhenti berpikir.
Tidak semua penugasan yang diberikan dosen dapat dikerjakan dengan mencontek. Akan tetapi, penugasan yang memberi peluang untuk mencontek itu tetap ada, terlebih ketika ujian akhir berupa ujian tulis. Bisa jadi ketika pulpen sedang berpikir untuk menuliskan sesuatu, mata sang empunya pulpen menyisir seisi ruangan mencari peluang untuk mencontek. Pun pada pekerjaan rumah, mungkin saja seorang mahasiswa bentuk mencontek berupa plagiasi secara tidak sadar. Arus informasi yang begitu pesat sangat memungkinkan hal tersebut terjadi.
Sekolah, mencontek, curang, pendidikan, siswa, guru
Sumber: Kompasiana
“Tentu saja ada rasa puas dan tidaknya,” begitu kira-kira tanggapan yang muncul ketika muncul nilai baik yang didapat melalui pekerjaan mencontek. Di satu sisi, ia beruntung karena nilai yang diharapkan tercapai. Apa kabar orang tua di rumah? Tentu nilai ini dapat menjadikan rasa rindu mereka tergantikan, bahwa inilah anak yang telah berhasil menuntut ilmu di perguruan tinggi. Jika berbicara soal rasa tidak puas, tentu terbentuk karena kepalsuan yang ada dalam diri si pelaku mencontek. Sejatinya ia tidak mendapatkan apapun atas pekerjaannya, kecuali hanya seonggok nilai. Ia tidak memahami pengetahuan, apalagi menguasainya. Setidaknya hal ini tidak sampai pada tingkat terbawah yaitu, tidak sama sekali.

Bagi sebagian orang yang merenungi pekerjaan menconteknya, pasti ada suatu rasa bersalah di dalam dadanya. Akan timbul dorongan untuk meninggalkan itu semua. Ada satu titik balik yang ingin dibuat. Ada kesadaran bahwa mereka adalah orang yang gagal, tetapi tidak seluruhnya. Masih ada setitik harapan untuk mengubah semua itu. Dan pada titik itu, kehidupan baru mereka dimulai.
Bukan perkara yang mudah meninggalkan perilaku yang sudah mendarah daging bukan hanya pada diri sendiri saja, melainkan hampir di tiap-tiap orang yang ada di sekitarnya. Ada saja gangguan yang mengusik hati dan pikiran yang berusaha teguh pada pendirian untuk tidak mencontek. Di sekeliling banyak sekali bentuk kecurangan. Bukankah mencontek adalah salah satu bentuk kecurangan itu. Ah, mungkin nasib orang yang bodoh memang seperti ini. Mencontek salah, tidak mencontek bubrah.

Di ujung jalan itu, suatu saat, mungkin akan kau temui orang-orang dengan seragam dinas. Pekerjaan mereka lebih banyak di dalam ruangan yang berisi bangku, kursi, dan papan tulis. Pada sela-sela mengajar, mereka selalu memperingatkan anak didiknya untuk tidak mencontek. Pada titik itulah, mungkin mereka baru dapat benar-benar menerima kesalahan mereka di masa lalu. Mungkin jika kesalahan itu tidak pernah dilakukan, mereka tidak akan benar-benar paham. Semua itu, berawal dari kesalahan yang sama, mencontek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar