Di awal malam ini saya merenungkan
satu hal. Dalam beberapa hari terakhir saya hanya melakukan pekerjaan rutin
tanpa memikirkan mengapa, untuk apa, dan bagaimana pekerjaan itu saya lakukan.
Dengan kata lain, pokoknya mengalir saja. Saya menulis hanya sekadar menulis.
Membaca hanya sekadar membaca. Bahkan beberapa pekerjaan rumah (wajib) juga
berlalu begitu saja.
Sejenak tadi itu saya sadar bahwa
saya seperti tidak menjadi saya yang biasanya. Saya memang menikmati pekerjaan
rutin saya. Akan tetapi, dalam proses itu, saya seperti kehilangan sebuah nilai
yang biasanya saya dapat ketika saya telah mencampurkan sebuah pekerjaan dengan
perenungan. Sebuah nilai yang membuat saya bersemangat dalam melakukan suatu
pekerjaan.
Pada akhirnya saya sadar, bahwa
akhir-akhir ini saya kurang merenung. Saya tidak dapat menemukan irama yang
baik untuk diri saya sendiri, untuk menyemangati diri saya yang hanya melakukan
pekerjaan yang itu-itu saja. Saya seperti orang yang kekurangan motivasi
meskipun pekerjaan terkontrol dengan baik. Memang aneh kedengarannya, tetapi
itulah yang saya rasakan ketika saya kurang merenung.
Merenung adalah usaha nyata untuk mengembalikan energi positif dalam diri sendiri Gambar via wallpaperstudio10.com |
Mengapa merenung?
Bagi saya sendiri, merenung itu
dapat secara sengaja saya lakukan walaupun lebih sering datang secara tidak
sengaja. Ada saja hal-hal yang membuat isi kepala saya berputar-putar. Hal yang
sangat sulit bagi saya untuk mengendalikan mereka dalam satu barisan layaknya
prajurit.
Akan tetapi, bagaimanapun saya
menikmatinya. Saya membutuhkan hal itu untuk menilik kembali pengalaman lampau
saya. Kadang ada hal yang luput dari pengamatan saya ketika menjalankan
pekerjaan biasa. Dengan merenung itulah hal yang luput tersebut tadi datang
sendiri kepada saya. Memang sedikit aneh, tetapi itulah kenyataannya.
Hal ini nyatanya juga membantu
saya dalam menyikapi keadaan. Saya jadi lebih siap untuk melakukan pekerjaan
berikutnya. Pun ketika saya merenungkan hal-hal buruk, saya merasa bahwa hal
buruk tersebut tidak lain adalah bagian dari sebuah perjalanan panjang yang
memang harus saya tempuh. Ya, itu adalah jalannya dan masih ada hal buruk yang
menanti saya di depan. Saya hanya harus menghadapinya walau saya tahu saya akan
jatuh lagi, merenung lagi.
Apakah menjadi kebutuhan?
Apakah merenung akan menjadi
sebuah kebutuhan? Saya kira jawabnya bisa bermacam-macam. Manusia pada hakikatnya
adalah seorang perenung. Hanya saja seberapa sering ia melakukannya, hal
tersebut yang akan menjadi penanda apakah merenung merupakan kebutuhan atau
bukan. Banyak orang yang melakukan renungan hanya ketika mereka merasa bahwa
saat itu adalah waktu yang tepat untuk merenung. Atau hanya pada waktu ketika
sedang mendapatkan pengalaman atau hal kurang baik. Tentu dalam kasus ini
merenung belum dapat dibilang sebagai sebuah kebutuhan. Sebab porsi untuk
merenung tidak akan besar pengaruhnya. Hanya sebatas stress relief sebagaimana kalau kita jenuh kemudian memutuskan
untuk piknik.
Lain halnya dengan orang-orang
pendiam seperti saya. Merenung sangat mungkin menjadi sebuah kebutuhan.
Terlebih orang-orang pendiam merupakan orang yang banyak berpikir daripada
bertindak. Sebelum benar-benar melakukan sesuatu hal (yang penting), perenungan
itu cenderung dilakukan. Ini baru sebatas dalam pratindakan.
Lebih dari itu, merenung bukan
saja sesuatu hal yang dilakukan pada awal. Kami (atau saya saja) sebagai introverts
sering melakukan perenungan sebelum melakukan tindakan, saat di tengah-tengah,
maupun ketika akhir. Sebagaimana dalam satu organisasi terdapat rapat kerja,
evaluasi tengah periode, dan evaluasi akhir periode. Dalam kasus demikian,
merenung adalah sebuah kebutuhan. Bahkan kami (atau hanya saya) hampir
mempunyai porsi merenung yang sama banyaknya dengan porsi tindakan.
Kembali menjadi diri sendiri
Inilah yang menurut saya
merupakan hal terpenting dalam merenung. Kembali menjadi diri sendiri.
Bahwasanya perenungan mengenai apa yang telah saya ambil, apa yang telah saya
lakukan, apa yang saya dapat, apa yang belum ataupun hendak saya perbuat,
riwayat kesalahan atau kebahagiaan, kegelisahan atau pendewasaan, pada akhirnya
merujuk pada satu hal: bahwa saya adalah manusia biasa. Saya adalah manusia
yang banyak berharap tetapi tidak akan pernah cukup kuat untuk melakukan
berbagai macam hal.
Merenung membuat saya mengakui
semua itu. Merenung membuat saya mengakui diri saya sendiri. Bagi seorang
perenung (dan introvert) seperti saya pasti mengerti betapa bahagianya dapat merasakan
hal itu.
Merenung adalah sebuah usaha yang
nyata. Memang ia akan membuat saya tampak bodoh karena kelihatannya saya tidak melakukan
apa-apa. Berdasarkan perenungan saya, orang-orang yang berpikir demikian hanya
tidak tahu kalau saya sedang merenung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar