Kebutuhan untuk Merenung - Tranquillum

Dunia yang diam dan hal-hal di sekitarnya

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Rabu, 26 September 2018

Kebutuhan untuk Merenung


Di awal malam ini saya merenungkan satu hal. Dalam beberapa hari terakhir saya hanya melakukan pekerjaan rutin tanpa memikirkan mengapa, untuk apa, dan bagaimana pekerjaan itu saya lakukan. Dengan kata lain, pokoknya mengalir saja. Saya menulis hanya sekadar menulis. Membaca hanya sekadar membaca. Bahkan beberapa pekerjaan rumah (wajib) juga berlalu begitu saja.
Sejenak tadi itu saya sadar bahwa saya seperti tidak menjadi saya yang biasanya. Saya memang menikmati pekerjaan rutin saya. Akan tetapi, dalam proses itu, saya seperti kehilangan sebuah nilai yang biasanya saya dapat ketika saya telah mencampurkan sebuah pekerjaan dengan perenungan. Sebuah nilai yang membuat saya bersemangat dalam melakukan suatu pekerjaan.
Pada akhirnya saya sadar, bahwa akhir-akhir ini saya kurang merenung. Saya tidak dapat menemukan irama yang baik untuk diri saya sendiri, untuk menyemangati diri saya yang hanya melakukan pekerjaan yang itu-itu saja. Saya seperti orang yang kekurangan motivasi meskipun pekerjaan terkontrol dengan baik. Memang aneh kedengarannya, tetapi itulah yang saya rasakan ketika saya kurang merenung.

Merenung adalah usaha nyata untuk mengembalikan energi positif dalam diri sendiri
Gambar via wallpaperstudio10.com


Mengapa merenung?
Bagi saya sendiri, merenung itu dapat secara sengaja saya lakukan walaupun lebih sering datang secara tidak sengaja. Ada saja hal-hal yang membuat isi kepala saya berputar-putar. Hal yang sangat sulit bagi saya untuk mengendalikan mereka dalam satu barisan layaknya prajurit.
Akan tetapi, bagaimanapun saya menikmatinya. Saya membutuhkan hal itu untuk menilik kembali pengalaman lampau saya. Kadang ada hal yang luput dari pengamatan saya ketika menjalankan pekerjaan biasa. Dengan merenung itulah hal yang luput tersebut tadi datang sendiri kepada saya. Memang sedikit aneh, tetapi itulah kenyataannya.
Hal ini nyatanya juga membantu saya dalam menyikapi keadaan. Saya jadi lebih siap untuk melakukan pekerjaan berikutnya. Pun ketika saya merenungkan hal-hal buruk, saya merasa bahwa hal buruk tersebut tidak lain adalah bagian dari sebuah perjalanan panjang yang memang harus saya tempuh. Ya, itu adalah jalannya dan masih ada hal buruk yang menanti saya di depan. Saya hanya harus menghadapinya walau saya tahu saya akan jatuh lagi, merenung lagi.

Apakah menjadi kebutuhan?
Apakah merenung akan menjadi sebuah kebutuhan? Saya kira jawabnya bisa bermacam-macam. Manusia pada hakikatnya adalah seorang perenung. Hanya saja seberapa sering ia melakukannya, hal tersebut yang akan menjadi penanda apakah merenung merupakan kebutuhan atau bukan. Banyak orang yang melakukan renungan hanya ketika mereka merasa bahwa saat itu adalah waktu yang tepat untuk merenung. Atau hanya pada waktu ketika sedang mendapatkan pengalaman atau hal kurang baik. Tentu dalam kasus ini merenung belum dapat dibilang sebagai sebuah kebutuhan. Sebab porsi untuk merenung tidak akan besar pengaruhnya. Hanya sebatas stress relief sebagaimana kalau kita jenuh kemudian memutuskan untuk piknik.
Lain halnya dengan orang-orang pendiam seperti saya. Merenung sangat mungkin menjadi sebuah kebutuhan. Terlebih orang-orang pendiam merupakan orang yang banyak berpikir daripada bertindak. Sebelum benar-benar melakukan sesuatu hal (yang penting), perenungan itu cenderung dilakukan. Ini baru sebatas dalam pratindakan.
Lebih dari itu, merenung bukan saja sesuatu hal yang dilakukan pada awal. Kami (atau saya saja) sebagai introverts sering melakukan perenungan sebelum melakukan tindakan, saat di tengah-tengah, maupun ketika akhir. Sebagaimana dalam satu organisasi terdapat rapat kerja, evaluasi tengah periode, dan evaluasi akhir periode. Dalam kasus demikian, merenung adalah sebuah kebutuhan. Bahkan kami (atau hanya saya) hampir mempunyai porsi merenung yang sama banyaknya dengan porsi tindakan.

Kembali menjadi diri sendiri
Inilah yang menurut saya merupakan hal terpenting dalam merenung. Kembali menjadi diri sendiri. Bahwasanya perenungan mengenai apa yang telah saya ambil, apa yang telah saya lakukan, apa yang saya dapat, apa yang belum ataupun hendak saya perbuat, riwayat kesalahan atau kebahagiaan, kegelisahan atau pendewasaan, pada akhirnya merujuk pada satu hal: bahwa saya adalah manusia biasa. Saya adalah manusia yang banyak berharap tetapi tidak akan pernah cukup kuat untuk melakukan berbagai macam hal.
Merenung membuat saya mengakui semua itu. Merenung membuat saya mengakui diri saya sendiri. Bagi seorang perenung (dan introvert) seperti saya pasti mengerti betapa bahagianya dapat merasakan hal itu.

Merenung adalah sebuah usaha yang nyata. Memang ia akan membuat saya tampak bodoh karena kelihatannya saya tidak melakukan apa-apa. Berdasarkan perenungan saya, orang-orang yang berpikir demikian hanya tidak tahu kalau saya sedang merenung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar