Mereka
datang lagi. Tepat ketika matahari telah berada di langit barat, beberapa menit
lepas salat asar. Aku segera mengenali wajahnya, sesosok laki-laki berkacamata
datang bersama laki-laki gendut. Sebelum dua orang itu, seorang laki-laki
berjaket hitam telah duduk di sini, menikmati angin sore yang begitu lembut dan
memanjakan.
Masih
ada beberapa orang lagi yang seharusnya aku lihat wajahnya. Perempuan tinggi
dan perempuan berkacamata.
“Mungkin
ini akan jadi pertemuan terakhir kita di sini,” begitu ucap laki-laki berjaket
hitam usai membuka perkumpulan itu.
Aku
benar-benar tidak siap mendengar kata-kata itu. Aku ingin tanya mengapa, tetapi
aku sadar bahwa aku bukanlah siapa-siapa di sini. Maka aku hanya terus
mendengar apa yang dikatakan oleh laki-laki berjaket hitam itu.
Aku
bisa melihat raut sedih dari perempuan berkacamata. Dia sudah meninggalkan
banyak cerita kepada kami. Aku tahu betul bahwa perempuan berkacamata itu
mempunyai banyak rahasia tentang pribadinya. Dan kepada kami, ia membagikan
semua itu, sambil menahan air mata yang sampai sekarang tidak pernah kulihat
keluar.
**
Balairung Selatan UGM |
Perpisahan
barangkali bukanlah sebuah ide yang baik, terutama setelah pertemuan kami yang
tanpa sengaja. Beberapa bulan yang lalu, di tempat ini, ketika kulihat wajah
mereka yang masih malu-malu untuk memperkenalkan diri.
Lambat
laun, meskipun hanya seminggu sekali kulihat wajah mereka, aku mulai mengenali
pribadi mereka masing-masing. Aku suka mendengarkan cerita ketika mereka baru
sampai. Dari cerita-cerita itulah aku tahu bahwa mereka suka menulis kisah
pribadi mereka sendiri. Semacam curhat menurutku.
Tetapi
hari ini hening, sebelum laki-laki berjaket hitam itu membuka dengan pertemuan
kali ini dengan kata-kata perpisahan. Mungkin memang sudah jalannya begitu.
Bukankah setiap pertemuan pasti ada perpisahan?
Lalu
ia mulai bercerita panjang lebar mengenai perjalanan hingga sampai detik ini.
Sudah sekitar tiga bulan kami bersama. Meskipun hanya setiap sore di hari
Jumat. Tetapi, ikatan kami telah berubah lebih dari sekedar hubungan
pertemanan.
Aku
tahu bahwa masing-masing dari mereka berasal dari kota yang berbeda. Hanya
laki-laki berjaket hitam yang merupakan penduduk asli di kota ini. Sepanjang
tiga bulan itu, aku mendapatkan banyak sekali cerita mulai bahagia,
menyedihkan, bahkan lucu sekalipun.
Perempuan
berkacamata suka berbagi kisah hidupnya, bagaimana ia selalu berusaha melawan
rasa takutnya karena penyakit yang dideritanya. Sungguh pun ia adalah orang
yang jujur dan senantiasa belajar bersyukur. Sejak aku bertemu dengannya, dan
kuketahui ia seorang penderita, tidak tampak sekalipun raut sedih di air
mukanya. Bahkan ketika ia harus rutin mengonsumsi obat-obatan.
Laki-laki
gendut suka bercerita soal sejarah. Perlu beberapa pertemuan sampai kusadari
bahwa bacaannya begitu berat seperti sejarah pertempuran di Eropa. Sesekali ia
membahas kisah-kisah epos yang ada di negeri ini. Ia sudah seperti Bapak Guru
Sejarah saja. Tetapi, mungkin hari ini, ia akan berkisah tentang sejarah
pertemuan kami, dari perkenalan yang malu-malu itu hingga jalan-jalan di
bioskop, dan sampai perpisahan hari ini.
Laki-laki
berkacamata, ia suka bercerita soal daerahnya di Padang. Gaya berbicaranya agak
berbeda dengan yang lain. Kadang susah sekali bagiku untuk menangkap apa yang
dimaksudnya. Tetapi, kadang aku kagum karena ia sudah pernah menempuh
perjalanan sampai ke Benua Amerika. Kadang ia bercerita soal budaya orang sana,
lalu perbandingan-perbandingan dengan negara ini. Aku jadi paham bahwa
kebudayaan orang luar negeri itu tidak melulu soal konsumerisme, kapitalisme,
dan sebagainya.
Tetapi
aku paling tidak suka dengan laki-laki berjaket hitam itu. Ia paling suka
mengomentari cerita orang lain. Kadang ia suka berkelakar kalau cerita mereka
tidak penting. Ia suka mencorat-coret lembaran cerita yang dituliskan orang
lain dan seenaknya berkata nonsense.
Seharusnya,
setelah hari ini, aku bersyukur tidak akan melihatnya lagi. Tetapi entah
mengapa, aku turut merasa kehilangan sikapnya yang seolah-olah menampar
manusia-manusia lain semacam perempuan tinggi dan perempuan berkacamata itu.
Mereka mengakui bahwa sejak pertemuan dengan laki-laki berjaket hitam itu,
mereka menyadari kekurangan dalam tulisan mereka, cerita mereka.
“Mungkin
ini akan jadi perpisahan yang biasa. Tetapi aku ingin meminta maaf kepada
kalian semua tentang sikapku yang demikian,” ujar lelaki berkacamata itu
santai.
Ada
yang tiba-tiba mendesir di dada setiap orang. Pertemuan sore itu dipenuhi
dengan cerita nostalgia dan saling memohon maaf. Tiba-tiba rindu sudah menusuk
begitu dalam.
**
Langit
kian berwarna oranye. Matahari hampir turun ke peraduan. Sebentar lagi azan
magrib. Mereka sudah selesai berkemas-kemas. Perlahan, kaki-kaki itu
meninggalkan tempat ini.
Aku
kini kesepian, kecuali hanya ditemani hembusan angin dan jingga di ufuk barat.
Mungkin ini adalah sebuah sore yang sempurna untuk sebuah perpisahan. Mereka,
orang-orang hebat itu, meninggalkanku di sini sendirian. Sebentar lagi pasti
akan gelap dan dingin. Aku akan tetap berjaga sebagai bangku penunggu Balairung
Selatan, sampai aku lapuk oleh masa.
“Aku
pasti akan merindukan kalian,” ucapku tak didengar siapa pun.
Tulisan
ini berkisah tentang para Pejuang Jumat, anggota Forum Lingkar Pena Yogyakarta
yang biasa berkumpul pada hari Jumat, di Balairung Selatan UGM, pada suatu
rangkaian masa. Penulis cerita adalah laki-laki berjaket hitam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar