Sebuah Sore di Balairung Selatan - Tranquillum

Dunia yang diam dan hal-hal di sekitarnya

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Kamis, 15 Februari 2018

Sebuah Sore di Balairung Selatan


Mereka datang lagi. Tepat ketika matahari telah berada di langit barat, beberapa menit lepas salat asar. Aku segera mengenali wajahnya, sesosok laki-laki berkacamata datang bersama laki-laki gendut. Sebelum dua orang itu, seorang laki-laki berjaket hitam telah duduk di sini, menikmati angin sore yang begitu lembut dan memanjakan.
Masih ada beberapa orang lagi yang seharusnya aku lihat wajahnya. Perempuan tinggi dan perempuan berkacamata.
“Mungkin ini akan jadi pertemuan terakhir kita di sini,” begitu ucap laki-laki berjaket hitam usai membuka perkumpulan itu.
Aku benar-benar tidak siap mendengar kata-kata itu. Aku ingin tanya mengapa, tetapi aku sadar bahwa aku bukanlah siapa-siapa di sini. Maka aku hanya terus mendengar apa yang dikatakan oleh laki-laki berjaket hitam itu.
Aku bisa melihat raut sedih dari perempuan berkacamata. Dia sudah meninggalkan banyak cerita kepada kami. Aku tahu betul bahwa perempuan berkacamata itu mempunyai banyak rahasia tentang pribadinya. Dan kepada kami, ia membagikan semua itu, sambil menahan air mata yang sampai sekarang tidak pernah kulihat keluar.
**

Forum Lingkar Pena Yogyakarta
Balairung Selatan UGM
Perpisahan barangkali bukanlah sebuah ide yang baik, terutama setelah pertemuan kami yang tanpa sengaja. Beberapa bulan yang lalu, di tempat ini, ketika kulihat wajah mereka yang masih malu-malu untuk memperkenalkan diri.
Lambat laun, meskipun hanya seminggu sekali kulihat wajah mereka, aku mulai mengenali pribadi mereka masing-masing. Aku suka mendengarkan cerita ketika mereka baru sampai. Dari cerita-cerita itulah aku tahu bahwa mereka suka menulis kisah pribadi mereka sendiri. Semacam curhat menurutku.
Tetapi hari ini hening, sebelum laki-laki berjaket hitam itu membuka dengan pertemuan kali ini dengan kata-kata perpisahan. Mungkin memang sudah jalannya begitu. Bukankah setiap pertemuan pasti ada perpisahan?
Lalu ia mulai bercerita panjang lebar mengenai perjalanan hingga sampai detik ini. Sudah sekitar tiga bulan kami bersama. Meskipun hanya setiap sore di hari Jumat. Tetapi, ikatan kami telah berubah lebih dari sekedar hubungan pertemanan.
Aku tahu bahwa masing-masing dari mereka berasal dari kota yang berbeda. Hanya laki-laki berjaket hitam yang merupakan penduduk asli di kota ini. Sepanjang tiga bulan itu, aku mendapatkan banyak sekali cerita mulai bahagia, menyedihkan, bahkan lucu sekalipun.
Perempuan berkacamata suka berbagi kisah hidupnya, bagaimana ia selalu berusaha melawan rasa takutnya karena penyakit yang dideritanya. Sungguh pun ia adalah orang yang jujur dan senantiasa belajar bersyukur. Sejak aku bertemu dengannya, dan kuketahui ia seorang penderita, tidak tampak sekalipun raut sedih di air mukanya. Bahkan ketika ia harus rutin mengonsumsi obat-obatan.
Laki-laki gendut suka bercerita soal sejarah. Perlu beberapa pertemuan sampai kusadari bahwa bacaannya begitu berat seperti sejarah pertempuran di Eropa. Sesekali ia membahas kisah-kisah epos yang ada di negeri ini. Ia sudah seperti Bapak Guru Sejarah saja. Tetapi, mungkin hari ini, ia akan berkisah tentang sejarah pertemuan kami, dari perkenalan yang malu-malu itu hingga jalan-jalan di bioskop, dan sampai perpisahan hari ini.
Laki-laki berkacamata, ia suka bercerita soal daerahnya di Padang. Gaya berbicaranya agak berbeda dengan yang lain. Kadang susah sekali bagiku untuk menangkap apa yang dimaksudnya. Tetapi, kadang aku kagum karena ia sudah pernah menempuh perjalanan sampai ke Benua Amerika. Kadang ia bercerita soal budaya orang sana, lalu perbandingan-perbandingan dengan negara ini. Aku jadi paham bahwa kebudayaan orang luar negeri itu tidak melulu soal konsumerisme, kapitalisme, dan sebagainya.
Tetapi aku paling tidak suka dengan laki-laki berjaket hitam itu. Ia paling suka mengomentari cerita orang lain. Kadang ia suka berkelakar kalau cerita mereka tidak penting. Ia suka mencorat-coret lembaran cerita yang dituliskan orang lain dan seenaknya berkata nonsense.
Seharusnya, setelah hari ini, aku bersyukur tidak akan melihatnya lagi. Tetapi entah mengapa, aku turut merasa kehilangan sikapnya yang seolah-olah menampar manusia-manusia lain semacam perempuan tinggi dan perempuan berkacamata itu. Mereka mengakui bahwa sejak pertemuan dengan laki-laki berjaket hitam itu, mereka menyadari kekurangan dalam tulisan mereka, cerita mereka.
“Mungkin ini akan jadi perpisahan yang biasa. Tetapi aku ingin meminta maaf kepada kalian semua tentang sikapku yang demikian,” ujar lelaki berkacamata itu santai.
Ada yang tiba-tiba mendesir di dada setiap orang. Pertemuan sore itu dipenuhi dengan cerita nostalgia dan saling memohon maaf. Tiba-tiba rindu sudah menusuk begitu dalam.
**

Langit kian berwarna oranye. Matahari hampir turun ke peraduan. Sebentar lagi azan magrib. Mereka sudah selesai berkemas-kemas. Perlahan, kaki-kaki itu meninggalkan tempat ini.
Aku kini kesepian, kecuali hanya ditemani hembusan angin dan jingga di ufuk barat. Mungkin ini adalah sebuah sore yang sempurna untuk sebuah perpisahan. Mereka, orang-orang hebat itu, meninggalkanku di sini sendirian. Sebentar lagi pasti akan gelap dan dingin. Aku akan tetap berjaga sebagai bangku penunggu Balairung Selatan, sampai aku lapuk oleh masa.
“Aku pasti akan merindukan kalian,” ucapku tak didengar siapa pun.

Tulisan ini berkisah tentang para Pejuang Jumat, anggota Forum Lingkar Pena Yogyakarta yang biasa berkumpul pada hari Jumat, di Balairung Selatan UGM, pada suatu rangkaian masa. Penulis cerita adalah laki-laki berjaket hitam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar