Perjalanan menaiki anak tangga Borobudur sampai ke puncak sudah tentu menguras tenaga. Akan tetapi, selalu ada kebahagiaan ketika kita sampai di puncaknya seperti
halnya pendaki yang berhasil menginjakkan kaki di puncak gunung. Pun ketika berjalan menuruni
anak tangga Borobudur, lalu sampai ke bawah. Selalu ada rasa kecewa manakala
kita berada di posisi bawah, yaitu saat kita terpuruk, dan kemudian mengingat-ingat ketika kita berada di puncak (atas). Adakalanya kamu merasa
begitu bahagia hingga mampu untuk tersenyum seharian apapun alasannya. Adakalanya
kamu sedih dan merasa tidak berguna. You have your ups and downs.
Ketika kita merasa senang, berhasil melakukan sesuatu, dan sebagainya, ada kalanya kita membayangkan diri kita sedang terbang. Terbang setinggi langit. Gambar via lifestyle.okezone.com |
Begitulah, kadang aku menganggap telah menemukan suatu titik kebahagiaan. Akan tetapi, seberapa jauhkah kebahagiaan itu? Adalah hal lumrah ketika sedang bahagia, rasanya seperti terbang setinggi langit. Akan tetapi, nyatanya aku hanya terbang setinggi pohon, tidak pernah benar-benar mencapai langit. Selalu ada kebahagiaan lain yang lebih tinggi. Bila tidak padaku, mungkin kebahagiaan itu ada pada orang lain.
Akan tetapi tidak masalah soal itu
selama selalu mencoba untuk tetap bersyukur. Bagaimanapun, kebahagiaan harus
disyukuri bukan? Maksudnya, kebahagiaan itu janganlah sampai membuat kita terlena. Bukan begitu?
Dan menuruni anak tangga, sampai ke bawah, ibarat
menempuh kesedihan. Sebuah perjalanan menuju lorong yang dalam, gelap, tidak dihuni siapapun kecuali diri sendiri. Di sanalah pintu kesedihan terbuka. Tapi seberapa kesedihan itu?
Aku bisa saja menganggap segala macam kesedihan itu begitu dalam, sedalam samudra. Akan tetapi, nyatanya hanya sedalam sumur bor[1]. Kesedihan yang semu. Nyatanya, kesedihan itu tidak benar-benar demikian. Hanya pikiran saja yang membawa anggapan kesedihan sedalam samudra. Bila begitu, lantas kesedihan sedalam apakah yang dialami oleh orang lain, yang kesedihannya melebihi sedihnya diri sendiri. Jadi, benar saja, kesedihan itu dalam, sedalam sumur bor, tetapi juga dangkal, karena tidak pernah mencapai dasar samudra.
Saat sedih, kita berpikir bahwa kesedihan kita telah mencapai titik terendah, seperti jatuh sedalam samudra. Gambar ia keluargacinta.com |
Aku bisa saja menganggap segala macam kesedihan itu begitu dalam, sedalam samudra. Akan tetapi, nyatanya hanya sedalam sumur bor[1]. Kesedihan yang semu. Nyatanya, kesedihan itu tidak benar-benar demikian. Hanya pikiran saja yang membawa anggapan kesedihan sedalam samudra. Bila begitu, lantas kesedihan sedalam apakah yang dialami oleh orang lain, yang kesedihannya melebihi sedihnya diri sendiri. Jadi, benar saja, kesedihan itu dalam, sedalam sumur bor, tetapi juga dangkal, karena tidak pernah mencapai dasar samudra.
Begitulah, selalu ada titik di luar ekspektasi. Segala macam kejadian adalah lahan untuk belajar. Belajar bahwa kebahagiaan dan kesedihan
itu memiliki titik semu. Bahwa kebahagiaan dan kesedihan kita tidak selalu sama dengan orang lain. Bisa jadi kebahagiaanmu
adalah kesedihan bagi orang lain, dan sedihmu adalah kebahagiaan orang lain.
Mungkin selama ini kamu hanya terbang setinggi pohon, jatuh sedalam sumur bor. Adakalanya kamu bahagia, ada kalanya kamu sedih. Kamu butuh bahagia untuk merasa kesedihan itu seperti apa, begitu pula sebaliknya.
Bukankah kebahagiaan adalah ketika kamu lepas dari kesedihan? Dan kesedihan adalah ketika kebahagiaan lepas dari dirimu?
Bukankah kebahagiaan adalah ketika kamu lepas dari kesedihan? Dan kesedihan adalah ketika kebahagiaan lepas dari dirimu?
Sebagian ide dari tulisan ini didapat ketika saya berkunjung ke Candi Borobudur pada Januari 2018.
[1]
Ide dari “sumur bor” berawal ketika saya mendengar sebuah ceramah, yang mana
beliau Bapak Kiai membandingkan dua (kelompok) orang bagaikan langit dan sumur
bor. Sumur bor di sini dimaknai lebih dalam dari bumi (baca: tanah yang kita
injak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar